brimob lindas ojol

Kewajiban Negara dalam Melindungi Warga Negara dan Aksi Unjuk Rasa

brimob lindas ojol

Hak Berpendapat: Investasi Terbesar Rakyat Indonesia. Kalau Rusak, Siapa yang Bayar?
Mari kita bicara blak-blakan. Negara itu bukan cuma soal kekuasaan, tapi juga soal kepercayaan. Kepercayaan bahwa system yang kita bangun bisa melindungi setiap asetnya: yaitu rakyat.

Salah satu aset paling fundamental dalam sebuah negara demokratis adalah hak untuk bersuara. Kalau dalam bisnis, ini seperti hak para shareholder untuk menuntut transparansi dari manajemen. Tanpa hak ini, project bernama “negara” bisa berjalan tanpa kendali, tanpa feedback, dan akhirnya bangkrut.

Di Indonesia, hak ini diatur ketat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998. Ini bukan sekadar pasal-pasal di buku tebal, tapi kontrak antara negara dan rakyat. Kontrak ini punya service level agreement (SLA) yang harus dipatuhi. Dan saat ada demo yang ricuh, di mana ada korban jatuh—misalnya driver ojol yang tidak bersalah—itu artinya ada breach of contract besar-besaran.

Jadi, siapa yang harusnya bayar kerusakan ini?

Aturan Main yang Jelas: Hak dan Kewajiban dalam Kontrak

Sama seperti sebuah startup yang punya terms & conditions, negara juga punya aturan mainnya. Kontrak antara negara dan rakyat ini intinya adalah:

  • Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”Ini adalah izin utama. Ini jaminan konstitusional bahwa lo punya hak untuk speak up, untuk berdemonstrasi. Negara tidak bisa melarang, karena ini hak yang melekat. Ini bukan sekadar izin, ini adalah hak dasar.
  • Pasal 5 huruf b UU No. 9 Tahun 1998: “Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk… memperoleh perlindungan hukum.”Nah, ini bagian paling krusial. Ini clause yang mewajibkan negara untuk menyediakan perlindungan total saat lo menggunakan hak lo. Perlindungan ini tidak hanya untuk demonstran, tapi juga untuk stakeholder lain di sekitarnya. Termasuk driver ojol, pedagang, atau pejalan kaki yang tidak tahu-menahu. Negara, melalui aparat keamanannya, punya kewajiban mutlak untuk memastikan project unjuk rasa ini berjalan aman, tanpa ada korban.

Jadi, kalau ada korban, itu bukan “kecelakaan.” Itu adalah kegagalan sistem. Kegagalan manajemen risiko.

Polri Bukan Security Guard, Tapi Risk Management Team. Dalam setiap unjuk rasa, peran Polri itu bukan cuma “mengamankan” dalam artian menghalau. Mereka itu sebenarnya manajer risiko. Tugas mereka, berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002, adalah:

  • Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
  • Memelihara keamanan dan ketertiban.

Ini berarti, saat ada demo, aparat tidak boleh hanya memikirkan cara membubarkan. Mereka harus memikirkan: “Bagaimana cara kita melindungi semua orang, termasuk mereka yang ada di luar lingkaran demo?”

Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2012 bahkan sudah menegaskan: pengamanan harus mengedepankan prinsip Hak Asasi Manusia. Penggunaan kekerasan itu adalah opsi terakhir, hanya jika sudah ada ancaman fatal. Penggunaan senjata api, apalagi kendaraan taktis yang memakan korban sipil, itu adalah pelanggaran fatal dari standard operating procedure (SOP) mereka sendiri.

Ini sama seperti sebuah perusahaan yang menggunakan strategi pemasaran ilegal. Ketika project gagal dan merusak reputasi, yang disalahkan bukan cuma tim di lapangan, tapi juga manajemen tertinggi.

Tanggung Jawab Moral dan Sosial

Ketika sistem gagal, kita tidak hanya berbicara tentang hukum. Kita berbicara tentang moralitas dan etika. Siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya nyawa seseorang yang tidak bersalah?

Ini bukan sekadar pertanyaan “siapa yang salah,” melainkan “siapa yang harus bertanggung jawab secara moral?”

1. Tanggung Jawab Moral Aparat: Mereka yang berada di lapangan memiliki sumpah untuk melindungi, bukan mencederai. Ketika nyawa melayang, mereka tidak hanya gagal dalam menjalankan tugas, tetapi juga gagal dalam menjaga martabat sebagai pengayom masyarakat. Secara moral, mereka berutang penjelasan, penyesalan, dan pertanggungjawaban kepada keluarga korban dan publik. Ini bukan hanya soal sanksi, tapi juga soal hati nurani.

2. Tanggung Jawab Sosial Para Pemimpin: Para pemimpin dari institusi keamanan, bahkan hingga tingkat tertinggi, juga memiliki tanggung jawab sosial. Mereka yang merancang kebijakan, memberikan pelatihan, dan mengatur operasi. Ketika ada kesalahan di lapangan, itu juga refleksi dari kegagalan kepemimpinan. Mereka harus menunjukkan empati, memimpin investigasi secara transparan, dan melakukan reformasi agar kejadian serupa tidak terulang. Sikap abai atau defensif hanya akan mengikis kepercayaan publik.

3. Tanggung Jawab Moral Para Demonstran: Aksi unjuk rasa adalah alat perjuangan, bukan alat kekerasan. Mereka yang berdemonstrasi juga memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga ketertiban, menghindari provokasi, dan tidak membenarkan kekerasan. Kekacauan yang mereka ciptakan bisa menjadi bumerang, mengorbankan orang tak bersalah dan merusak citra perjuangan itu sendiri.

Pada akhirnya, tanggung jawab moral dan sosial ini adalah pondasi dari masyarakat yang beradab. Hukum hanya bisa menjerat pelaku, tetapi akuntabilitas moral akan membangun kembali kepercayaan yang hilang.

Mencegah Project Gagal Lagi

Demo ricuh, korban jatuh, dan masyarakat kehilangan kepercayaan. Ini adalah red flag bagi kita semua.

Hak berpendapat adalah investasi rakyat untuk membangun negara yang lebih baik. Kewajiban negara untuk melindunginya adalah garansi bahwa investasi ini tidak akan sia-sia. Ketika garansi ini tidak terpenuhi, yang rugi bukan hanya korban, tapi seluruh sistem.

Sebagai kantor hukum yang peduli pada penegakan keadilan, RSP Law Office percaya bahwa kita harus terus menuntut akuntabilitas dari para “manajer” di negara ini. Karena pada akhirnya, negara yang kuat bukan negara yang anti-kritik, tapi negara yang bisa mengelola feedback dari rakyatnya dengan aman, adil, dan transparan.